Antara Langit dan Bumi

Tak Berkategori

“Aku selalu kesal atas guyonan teman-teman sekelasku. Mereka mengira aku dan Langit menjalin kasih akibat selalu terlihat bersama. Pada awalnya aku acuh saja. Beda dengan Langit yang meyakinkan teman-temannya bahwa ia dan aku hanya berteman biasa. Namun sejak gebetan pertamaku, Kristin, menolakku mentah-mentah, aku bertekad untuk ‘keluar’ dari bayang-bayang Langit dan menjadi diriku sendiri. Bumi tanpa Langit.”

Read it here 

Antara Langit dan Bumi

theFaRproject

Bumi:

Langit Gemintang Widjojo. Namanya terus terngiang-ngiang di kepalaku. Bayangnya selalu mengusik hari-hariku. Mengikutiku kemana saja aku melangkah. Ke kantor, ke kelab malam, ke tempat fitness bahkan ke dalam bunga tidurku. Ia berhasil membuat hidupku tidak karuan. Di mana-mana hanya Langit yang terlintas di pikiranku. Ya! Langit Gemintang Widjojo, gadis tetangga sebelah yang indah namun keindahan itu tertutup di balik kacamata minus empat merah marun yang bertengger di matanya. Ia merupakan bagian dari masa laluku yang kini baru kusadari adalah masa lalu yang begitu indah di kenang. Seindah langit biru yang memayungi bumi.

Aku mengenal Langit sejak masih Taman Kanak-Kanak. Usia yang sebaya dan jarak rumah yang bersebelahan membuat kami sangat akrab.Entah kenapa, aku seakan berjodoh dengan Langit. Dari TK hingga SMA, kami selalu satu sekolah walau berbeda kelas dan jurusan. Keakraban kami hanya terjaga sampai SMP karena aku yang mengusir Langit dari keperkasaanku, Bumi Putera Hardjono. Aku selalu kesal atas guyonan teman-teman sekelasku. Mereka mengira aku dan Langit menjalin kasih akibat selalu terlihat bersama. Pada awalnya aku acuh saja. Beda dengan Langit yang meyakinkan teman-temannya bahwa ia dan aku hanya berteman biasa. Namun sejak gebetan pertamaku, Kristin, menolakku mentah-mentah, aku bertekad untuk ‘keluar’ dari bayang-bayang Langit dan menjadi diriku sendiri. Bumi tanpa Langit.

Alasan Kristin memang masuk akal. Ia menolakku karena Kristin menganggap aku berpacaran dengan Langit. Akibatnya, ia terlanjur menerima cinta Beni, teman sekelasku yang memang sudah lama mengidam-idamkan Kristin. Aku marah. Kecewa dan sakit hati bertumpuk menjadi satu. Amarahku pecah saat Langit datang ke rumahku untuk mengembalikan novel kesayanganku yang ia pinjam, Goosebumps. Aku masih ingat jelas bulir- bulir air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya. Meninggalkan kesan buram pada kacamatanya.

“Pergi Langit! Pergi! Pergi selamanya dari hidupku. Aku tidak ingin berteman dengan kamu lagi!” desisku pelan saat itu. Pelan namun berbisa. Meninggalkan luka dalam bagi Langit.

“Ya, Bumi. Jika itu maumu, aku akan pergi. Terima kasih karena telah mau berteman denganku. Maaf kalau aku sering merepotkanmu.” ujarnya sambil menahan isak tangis. Ia meletakkan novel tersebut di meja teras kemudian berlari pulang. Ya. Itu terakhir kalinya Langit berkunjung ke rumahku. Sejak saat itu, aku dan Langit tidak pernah bertemu. Jika berpapasan, kami segera menghindar.

Pertengkaranku dengan Langit membuat aku ‘laris manis’. Aku berulang kali menjalin kasih dengan perempuan yang berbeda bahkan penggemarku makin tak terhitung. Sudah bukan rahasia umum jika aku adalah siswa yang mendapat cokelat terbanyak saat hari valentine tiba. Sudah bukan rahasia umum lagi jika aku adalah siswa yang mendapat surat cinta paling banyak saat masa orientasi siswa berlangsung. Kepopuleranku di mata perempuan  tak surut setelah aku menginjak masa SMA di mana aku menjadi salah satu bagian dari klub basket sekolah. Setiap aku memasukkan bola dalam pertandingan, semua siswi berteriak histeris. Mengelu-elukan namaku. Berebut mendapat perhatianku. Aku makin terlena. Tapi aku malah merasa sepi dan hampa. Ya, ketidakberdayaan Langit di sisiku membuat apa yang aku dapatkan terasa hambar.

Kami sempat satu kelas di kelas sepuluh sebelum akhirnya aku dan dia mengambil jurusan yang berbeda. Perawakannya tidak mengalami perubahan sedikitpun. Tetap kurus dan berkacamata Ada sinar teduh di matanya, nampak begitu lebih dewasa dan matang. Marobohkan keangkuhan bumi. Akan tetapi, aku dan Langit masih menghindar satu sama lain. Jika mata kami tak sengaja bersirobok, kami langsung membuang muka. Aku tersiksa dalam belenggu keangkuhan yang aku jeratkan sendiri. Ya. Aku kehilangan Langit Gemintang Widjojo. Sahabat yang selalu mendengarkan keluh kesahku. Aku ingin berteman dengan Langit lagi. Aku ingin merangkai untaian tawa bersama seperti dulu lagi.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Belum sempat aku meminta maaf, datanglah sepucuk surat di atas sebuah bingkisan kecil berwana biru yang tergeletak di meja belajarku. Ya, kado itu dari Langit tepat di hari ulang tahunku yang ke 18. Bertepatan juga dengan diterimanya aku di Hubungan Internasional UI.

Dear Bumi.

            Selamat ulang tahun. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu dan bahagia dunia akhirat. Selamat juga atas keberhasilan kamu masuk jurusan HI di UI. Tak kusangka kamu sangat hebat dan pintar. Semoga kamu bisa menjadi diplomat handal. Menjadi orang kepercayaan negara kita dalam membangun relasi dengan negara lain.

            Bumi, aku ingin minta maaf atas segala kesalahanku. Gara- gara aku, kamu tidak pacaran dengan Kristin. Namun, aku sudah menjelaskan semuanya ke Kristin. Kristin pun juga maklum. Sungguh aku sangat menyesal. Aku memang harusnya tahu diri, Bumi. Aku tidak dapat bersanding denganmu. Seperti kata pepatah, bagaikan bumi dan langit. Ya, aku dan kamu sangat berbeda, sangat jauh berbeda.

            Dalam surat ini, aku juga  minta maaf karena baru dapat memberimu hadiah. Semenjak kita bertengkar, aku tidak  pernah melupakan hari ulang tahunmu dan keinginanku sangat kuat untuk memberimu hadiah, hanya saja, kamu membenci aku hingga aku takut kamu marah dan semakin membenci aku dan inilah hadiah terakhirku, Bumi. Semoga kamu suka!

Salam hangat

Langit Gemintang Widjojo

Hatiku mencelos. Aku segera membuka hadiah yang terbungkus rapi. Isinya adalah sebuah city diary Dublin, Irlandia. Aku tahu apa maksudnya ini. Ya, Langit telah pergi. Pergi ke tanah impiannya, Irlandia. Aku memang mendengar selentingan kabar bahwa Langit mendapat beasiswa di salah satu universitas ternama di Dublin. Aku memang tidak peduli bahkan tidak mau peduli atas kabar tersebut. Aku segera berlari keluar kamar, menuju rumah Langit, sahabat kecilku. Terlambat! Langit telah pergi. Rumahnya kosong dan terkunci rapat. Menurut kabar yang aku dengar dari Mama, Langit dan keluarganya sudah pergi selama sebulan yang lalu. Mama juga heran mengapa aku sama sekali tidak tahu kabar ini. Untuk pertama kalinya aku menangis. Menangisi kepergian Langit.

Aku berusaha melacak keberadaan Langit. Aku menanyai teman-teman karibnya satu persatu demi mendapatkan alamat Langit di Dublin. Aku ingin menulis surat padanya. Aku ingin minta maaf. Namun, pada kenyataannya aku tidak pernah menulis surat untuk Langit meski alamat sudah tergenggam di tanganku. Langit pun juga tak pernah kirim kabar. Ya, aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku salah dan ingin minta maaf. Ya! Aku adalah pecundang sejati.

Sepuluh tahun telah berlalu. Aku telah menyandang gelar sarjana dan memiliki karir yang bagus sebagai salah satu CEO sebuah perusahaan multinasional. Aku juga memiliki tunangan bernama Kristin. Ya! Kristin gebetan di SMP ku ini  sekarang adalah calon istriku. Kami berencana menikah di awal tahun ini mengingat sudah sekitar delapan tahun kami berpacaran.

Pada awalnya, kami ingin mengurus pernikahan ini secara mandiri. Mulai pemilihan gaun pengantin, kue pernikahan, pemilihan gedung sampai susunan acara kami yang urus. Hanya saja, belakangan ini, Kristin terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Karena tidak ingin keteteran dan kewalahan, kami menyerah. Kami menyewa wedding organizer yang mengurus pernikahan kakak sepupu Kristin. Pertemuan pun diatur untuk membicarakan konsep pernikahan kami. Namun, begitu terkejutnya aku dan Kristin saat bertemu dengan orang yang akan membantu di hari bahagia kami. Orang itu adalah Langit! Langit sahabat kecilku. Ia tampak berbeda. Badannya kini lebih berisi dan ia tidak mengenakan kacamata lagi. Walau berbeda, aku mengenalinya dari sinar matanya yang bersahaja.

“Bumi! Kristin! Apa kabar? Lama tak berjumpa!” sapanya hangat sambil mengulurkan tangan. Tidak ada nada benci dan sinis dalam nada suaranya.

“Hai!” ujarku gugup. Aku menyambut uluran tangannya. Berbeda dengan Kristin yang langsung memeluk Langit dan mengecup kedua pipinya.

Kami pun duduk bersama. Membicarakan tetek bengek pernikahan kami. Langit tampak begitu bersemangat dalam merancang pernikahan yang sempurna untuk kami. Ia juga begitu sabar dalam menghadapi kecerewetan Kristin. Pada awalnya, kami berdua masih sempat bertemu dengan Langit. Namun, kesibukan Kristin makin menyita waktunya sehingga Kristin sering memintaku bertemu dengan Langit untuk membicarakan semua rencana yang telah kami susun. Dari sinilah, aku berusaha untuk memperbaiki hubunganku dengan Langit. Waktu yang telah aku lewatkan tanpa kehadirannya selama hidupku terbayar sudah. Dari sini juga, aku mengalami konflik batin. Aku baru sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada Langit. Hanya beberapa bulan sebelum janji pernikahan terucap.

Langit memang sangat berbeda dengan Kristin. Kristin memang cantik tapi Langit sangat manis. Kristin memang cerewet dan egois tapi Langit adalah orang yang sabar dan penuh perhatian. Sebenarnya aku sudah lelah atas watak dan sikap Kristin bahkan aku selalu bertanya-tanya dalam hati mengapa aku bisa bertahan memegang tangannya hingga melaju ke tahap yang serius.  Dari intensitas pertemuan kami, aku semakin mencintai sinar matanya, gelak tawanya, senyumnya bahkan ekspresi marah dan kecewanya. Aku menyukainya. Aku menyukai Langit. Sejak saat itu namanya selalu bergema di kepalaku, bayangnya selalu terlintas di benakku. Aku benar-benar ingin memilikinya. Aku sudah tidak peduli atas statusku yang telah bertunangan dengan Kristin hingga perkataan itu terlontar saat aku dan Langit tengah berada di kedai es krim.

“Langit. Aku mencintaimu” ucapku tak terkendali. Aku memang gila, telah kehilangan akal sehatku.

Langit tampak terkejut. Ia diam saja. Memandangku dengan ekspresi terkejut bercampur kalut. Aku menelan ludahku. Berusaha melanjutkan kalimatku.

“Aku mencintai kamu Langit. Aku mencintai apapun yang bersemayam di dalam dirimu.  Aku ingin kamu menjadi milikku. Menjadi seseorang yang berhak menerima cinta dan pengorbananku. Aku tahu, aku gila tapi aku tidak dapat menahan perasaan ini. Aku baru sadar bahwa hanya kau yang terbaik untukku bukan Kristin dan aku yakin akan hal itu. Pernikahan ini akan aku batalkan jika kamu mau menerimaku. Menjadi bagian terindah dalam kehidupanmu. Kehidupan kita berdua.”

Langit hanya diam. Ia masih menatapku. Kali ini, tatapannya berubah nanar. Menusuk relug-relung hatiku. Sambil menghela nafas, ia berkata, “Bumi. Kamu aneh. Sangat aneh. Tapi, maaf Bumi aku tidak ingin menyakiti peraasaan Kristin.”

“Kamu dulu sangat membenci aku dan kini kamu bilang bahwa kamu menginginkan aku. Kamu pria yang aneh, Bumi. Bisakah kamu tetap berpijak teguh pada keputusan yang telah kamu pilih? Kamu pria dewasa Bumi. Kamu harus menganggung segala konsekuensi pilihan yang telah kamu pilih. Kamu telah memilih Kristin dan kamu harus mencintai kelebihan dan kekurangan dia. Sekarang, aku ingin bertanya padamu. Apa benar kamu mencitaiku secara utuh? Apakah aku hanya pelarianmu dalam menghadapi ketidakberdayaan?  Kamu tidak harus selalu melarikan diri dari masalah apalagi dengan langkah ceroboh seperti ini. Hadapilah layaknya pria dewasa. ”

“ Sejak dulu, kamu selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Wajah tampan, karir bagus dan tentu saja Kristin, tunanganmu sekarang. Tapi kali ini Bumi, maaf. Kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kamu tidak selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan” Langit memberi penekanan pada kalimat terakhir. Nafasnya memburu. Ia berusaha mengendalikan diri. Ia kemudian berdiri. Mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di meja lalu pergi meninggalkanku. Meninggalkanku bersama dua gelas es krim vanilla yang berdiri tegak di meja kedai. Aku terdiam. Merenung dalam hati. Langit Benar. Ya! Dia benar. Aku memang pecundang. Aku adalah sosok lelaki berusia sepuluh tahun dalam raga pria dua puluh delapan tahun. Aku memang mencintai Langit. Mencintainya secara utuh. Lebih daripada yang ia tahu walaupun memang sangat terlambat. Tetapi akankah aku membiarkan Kristin terluka atas apa yang telah aku lakukan? Akankah aku mengingkari janjiku kepada Kristin? Bahwa aku serius mencintainya. Bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya. Pria sejati tidak akan melakukannya kan?

Aku menghela nafas. Mengusap mukaku. Memandang ke arah luar jendela. Berusaha mencari bayang Langit untuk terakhir kalinya. Sia-sia. Langit telah pergi meninggalkan Bumi. Selamanya. Ya. Selamanya.

***

Langit:

Sejak kecil Bumi sudah berpijak tepat di hatiku. Seorang sahabat yang selalu ada di saat suka maupun duka. Kemana saja kami selalu bersama. Aku ingat saat-saat pulang sekolah bersama. Menaiki sepeda menempuh terjalnya jalan raya. Aku ingat peluh keringatnya yang membasahi seragam sekolahnya. Namun dia tetap tersenyum mengajakku tertawa. Ya, Bumi Putera Hardjono. Sosok lelaki yang selalu mengiringi langkahku sebelum ia mengusirku dari kehidupannya.

Dari TK hingga SMA, kami selalu satu sekolah walau berbeda kelas dan jurusan. Ketika SD kami selalu belajar dan bermain bersama. Tak ayal, saat masa-masa SMP aku dan Bumi sempat disangka menjalin hubungan khusus. Awalnya aku selalu mengelak dan mencoba mengkonfirmasi kepada teman-teman bahwa kami hanyalah sepasang sahabat dan tak lebih. Namun semua tak percaya. Sikap Bumi yang agak cuek terhadap kabar burung itu membuat teman-teman semakin yakin bahwa kami berpacaran. Hingga suatu hari aku mendengar bahwa Bumi ditolak seorang gadis manis dambaan cowok-cowok satu sekolah, Kristin.

Desas-desus menyebar kalau Kristin menolak Bumi dan justru memilih Beni karena dia mengira aku dan Bumi tengah menjalin hubungan. Awalnya sedikit ragu mempercayai isu itu tetapi, aku baru yakin ketika Bumi mengusirku. Niat baikku untuk mengembalikan novel kesayangannya, Goosebumps, justru dibalas dengan bentakkan yang kasar menghujam ulu hatiku. Seakan-akan ada endogen dari tubuh Bumi yang siap membuat darahku terhenti. “Pergi Langit! Pergi! Pergi selamanya dari hidupku. Aku tidak ingin berteman dengan kamu lagi!” Makiannya bak tenaga dari luar bumi yang membutakan siapa dirinya sesungguhnya. Aku tak melihat Bumi yang biasanya.

Rasanya aku ingin menangis. Namun aku masih bisa menahan buliran air di sudut mataku.“Ya, Bumi. Jika itu maumu, aku akan pergi. Terima kasih karena telah mau berteman denganku. Maaf kalau aku sering merepotkanmu.” Tak berani aku menatap wajahnya. Aku segera meletakkan novel tersebut di meja teras kemudian berlari pulang. Ya. Itu terakhir kalinya aku berkunjung ke rumahnya. Sejak saat itu, aku dan Bumi tidak pernah bertemu. Kalaupun berpapasan, kami tak merasa saling kenal.

Sekian lama tak bertegur sapa dengannya membuat hidupku terasa datar. Sayangnya aku tak melihat hal yang sama di mata Bumi. Di SMA kami ditakdirkan untuk satu sekolah kembali. Walaupun begitu, kami masih saling menhindar. Bumi sungguh berubah menjadi lelaki yang ‘laris manis’. Dengan wajahnya yang blasteran Jawa-Belanda semakin membuatnya menjadi ngetop. Apalagi ketika dia mengolah bola basket di tengah lapangan. Gadis manapun tak mau mengalihkan pandangannya ke arah tubuh atletis Bumi. Namanya selalu disoraki para siswi cantik. Sementara itu, aku hanya bisa melihatnya dari balkon lantai dua. Andai aku bisa meneriakkan namanya, Bumi Putera Hardjono, seperti gadis-gadis itu.

Akhirnya perpisahan kami tiba. Aku senang sekali bisa lulus SMA dan mendapatkan beasiswa di salah satu universitas di Dublin, jurusan Ekonomi. Hanya saja ada satu ganjalan di hati yang membuatku tak tenang meninggalkan tanah air begitu saja. Ya, Bumi. Hingga detik-detik keberangkatanku pun dia tak datang. Apa mungkin dia masih marah padaku. Atau mungkinkah dia tak tahu tentang beasiswa ini. Aku terus bertanya-tanya dalam hati.

Setelah singgah beberapa hari di Dublin, tanah Irlandia yang aku idamkan, hatiku tetap tak karuan. Bayang-bayang Bumi terus menghantuiku. Kabar terakhir yang kudengar adalah dia berhasil menjadi mahasisa UI jurusan Hubungan Internasional. bertepatan di hari jadinya yang ke-18, aku mengirim sepucuk surat  untuk Bumi yang kurindukan.

Dear Bumi.

            Selamat ulang tahun. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu dan bahagia dunia akhirat. Selamat juga atas keberhasilan kamu masuk jurusan HI di UI. Tak kusangka kamu sangat hebat dan pintar. Semoga kamu bisa menjadi diplomat handal. Menjadi orang kepercayaan negara kita dalam membangun relasi dengan negara lain.

            Bumi, aku ingin minta maaf atas segala kesalahanku. Gara- gara aku, kamu tidak pacaran dengan Kristin. Namun, aku sudah menjelaskan semuanya ke Kristin. Kristin pun juga maklum. Sungguh aku sangat menyesal. Aku memang harusnya tahu diri, Bumi. Aku tidak dapat bersanding denganmu. Seperti kata pepatah, bagaikan bumi dan langit. Ya, aku dan kamu sangat berbeda, sangat jauh berbeda.

            Dalam surat ini, aku juga  minta maaf karena baru dapat memberimu hadiah. Semenjak kita bertengkar, aku tidak  pernah melupakan hari ulang tahunmu dan keinginanku sangat kuat untuk memberimu hadiah, hanya saja, kamu membenci aku hingga aku takut kamu marah dan semakin membenci aku dan inilah hadiah terakhirku, Bumi. Semoga kamu suka!

Salam hangat

Langit Gemintang Widjojo

Setelah mengirim selembar city diary Dublin itu aku harap dia akan membalasnya. Aku kira kami bisa kembali berteman dan saling mengirim kabar. Tapi apa mau dikata, harapanku tak pernah terwujud. Dinding hati Bumi terlalu kokoh. Permohonan maafku pun tak mampu meluluhkan.

Sepuluh tahun kemudian aku memutus kembali ke Indonesia dan mencoba peruntunganku. Sebagai awal baru, aku menyetujui tawaran tanteku untuk membantunya di sebuah usaha wedding organizer di Jakarta. Walaupun sebenarnya aku banting setir dari studi ekonomiku, aku sangat menikmati mengurusi momen terindah dari setiap pasangan ini. Sampai akhirnya aku mendapat kepercayaan oleh tanteku untuk menemui pasangan yang ingin memakai jasa kami. Mendengar itu, aku sangat gembira. Rasanya sungguh tidak sabar ingin segera mencoba pengalaman baru dengan menghadapi calon suami-istri itu.

Jam 10.00 aku sudah berada di sebuah tempat yang sudah dijanjikan. Lima belas menit kemudian calon pengantin yang kutunggu-tunggu itu tiba. Betapa terkejutnya aku ketika dua sejoli itu ternyata dua insan yang aku kenal. Mereka adalah Bumi dan Kristin. Darahku berhenti mengalir. Seakan-akan hatiku dilanda gempa berkekuatan 9,8 SR. Mereka akan menikah. Mereka akan menjadi suami-istri. Dan akhirnya sampailah aku di titik kehilangan pijakan dari Bumi.

“Bumi! Kristin! Apa kabar? Lama tak berjumpa!” sapaku setelah sadar dari lamunan.

“Hai!” ujar Bumi gugup. Aku menyambut uluran tangannya. Berbeda dengan Kristin yang langsung memelukku dan mengecup kedua pipiku.

Kemudian kami bertiga langsung membicarakan konsep pernikahan mereka dan segala tetek bengeknya. Jujur, aku tak kuat menjalani ini semua. Hatiku hancur berkeping-keping membantu pernikahan mereka. Perasaanku berkutat di satu poros. Aku cemburu. Pada awalnya, mereka masih sempat bertemu denganku. Namun, kesibukan Kristin makin menyita waktunya sehingga Bumi yang selalu bertemu denganku untuk membicarakan semua rencana yang telah mereka susun. Dari sinilah aku melihat usaha Bumi untuk memperbaiki hubungan kami. Sepertinya aku mengalami pergolakan batin. Intensitas waktu kami yang intim membuat aku nyaman bersama Bumi. Akhirnya aku mendapatkan apa yang aku nanti-nantikan selama ini, kebersamaan bersama sosok spesial yang tak pernah aku lupakan. Bumi yang kusayang.

Hingga suatu siang aku dan Bumi berencana untuk membahas pernikahannya yang tinggal menunggu hari di kedai es krim.

Tiba-tiba Bumi mencondongkan tubuhnya kearahku. “Langit. Aku mencintaimu”

Gila!!! Bumi sudah gila! Apakah ia berkata seperti itu dalam keadaan sadar?. Aku memandangnya dengan ekspresi terkejut bercampur kalut.

“Aku mencintai kamu Langit. Aku mencintai apapun yang bersemayam di dalam dirimu.  Aku ingin kamu menjadi milikku. Menjadi seseorang yang berhak menerima cinta dan pengorbananku. Aku tahu, aku gila tapi aku tidak dapat menahan perasaan ini. Aku baru sadar bahwa hanya kau yang terbaik untukku bukan Kristin dan aku yakin akan hal itu. Pernikahan ini akan aku batalkan jika kamu mau menerimaku. Menjadi bagian terindah dalam kehidupanmu. Kehidupan kita berdua.”

Bibirku terus mengatup rapat. Namun mataku tetap menatapnya nanar. Sebenarnya aku ingin mengatakan hal yang sama kepadanya. Bahwa aku juga mencintainya. Bahwa aku ingin memilikinya pula tapi, aku masih waras. Aku tak mungkin merusak sebuah momen sakral hanya demi egoku saja.

“Bumi. Kamu aneh. Sangat aneh. Tapi, maaf Bumi aku tidak ingin menyakiti peraasaan Kristin.” ujarku pelan.

“Kamu dulu sangat membenci aku dan kini kamu bilang bahwa kamu menginginkan aku. Kamu pria yang aneh, Bumi. Bisakah kamu tetap berpijak teguh pada keputusan yang telah kamu pilih? Kamu pria dewasa Bumi. Kamu harus menganggung segala konsekuensi pilihan yang telah kamu pilih. Kamu telah memilih Kristin dan kamu harus mencintai kelebihan dan kekurangan dia. Sekarang, aku ingin bertanya padamu. Apa benar kamu mencitaiku secara utuh? Apakah aku hanya pelarianmu dalam menghadapi ketidakberdayaan?  Kamu tidak harus selalu melarikan diri dari masalah apalagi dengan langkah ceroboh seperti ini. Hadapilah layaknya pria dewasa. ”

“ Sejak dulu, kamu selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Wajah tampan, karir bagus dan tentu saja Kristin, tunanganmu sekarang. Tapi kali ini Bumi, maaf. Kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kamu tidak selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan” aku memberi penekanan pada kalimat terakhir. Nafasku memburu. Aku berusaha mengendalikan diri dan kemudian berdiri. Mengemasi barang-barangku yang tergeletak di meja lalu pergi meninggalkan Bumi. Meninggalkannya bersama dua gelas es krim vanilla yang berdiri tegak di meja kedai.

Aku segera keluar kedai dan menyetop sebuat taksi. Di dalam taksi aku terdiam. Mataku menerawang ke luar jendela. Aku sadar apa yang aku katakan adalah benar. Aku meyakini diriku bahwa aku tak akan menyesal dengan keputusanku tadi. Aku memang mencintai Bumi. Aku menyayangi dia semenjak teman-teman SMP menggodai kami. Aku memang tersiksa hidup tanpanya dan aku tak pernah berhenti melupakannya. Meskipun begitu aku tak bisa membayangkan bila berada di posisi Kristin.

Memang benar, bahwa akan selalu ada pemisah antara Langit dan Bumi.

 

Tinggalkan komentar